Rabu, 27 Maret 2019

PENDAHULUAN
-----------------------

HUKUM ADAT PERKAWINAN DI MINANGKABAU
(Konsep Hukum Tigo Tali Sapilin)

Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan tradisi dan banyak melahirkann banyak hukum adat dari berbagai masyarakat adat. Salah satunya adalah hukum adat perkawinan yang biasanya berisikan aturan-aturan, tata cara dan prosesi perkawinan yang diwariskan oleh para leluhur dan tetap akan dipakai dan ditaati oleh seluruh masyarakat adat.

Untuk memahami dan mempelajari hukum adat perkawinan sendiri harus dipahami mngenai pola susunan masyarakatnya, apakah itu metrilineal, patrilineal, parental atau teritorial (Soepomo, 1986: 67).

hukum adat perkawinan merupakan aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan (Hilman Hadikusuma, 2003: 182). Perkawinan menurut hukum adat sendiri merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, pribadi, tergantung pada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Namun lahirnya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan telah menyebabkan terjadinya unifikasi di bidang hukum perkawinan.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, hukum Islam telah lama menjadi hukum yang hidup (living law) di tengah masyarkat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Von Savigny, hukum yang baik adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarkat. Maka sudah barang tentu hukum adat yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat saat ini telah mengalami berbagai penyesuaian dan infiltrasi dengan hukum lainnya. Indonesia sebagai negara yang majemuk sebelumnya telah mempunyai hukum adat perkawinan sendiri-sendiri. Sekalipun sejak lahir UU No. 1/1974 tentang Perkawinan bidang hukum perkawinan diunifikasi, namun hukum adat tetap hidup dinamis dan berkembang di tengah-tengah masyarkat.

Eksistensi hukum adat sebagai salah satu komponen sistem hukum juga berkontribusi dalam pembentukan hukum Nasional. Namun di daerah-daerah tertentu, ternyata terjadi pergulatan di antara hukum perkawinan yang digunakan. seperti dalam hukum adat perkawinan Minangkabau, dimana dikenal konsep hukum Tigo Tali Sapilin, yang terdiri dari hukum adat, hukum syara' dan hukum nasional. Digunakan ketiga hukum ini dalam sistem hukum perkawinan di Minangkabau membuat kedudukan setiap hukum tersebut menjadi pertanyaan. Hal ini dikarenakan setiap sistem hukum tersebut memiliki aturan masing-masing dalam mengatur sistem perkawinan di Minangkabau. Aturan-aturan tersebut pun ada yang saling mendukung dan bertentangan satu dengan yang lainnya dan menimbulkan paradoks hukum mengenai perkawinan tersebut.

Di dalam masyarakat Minangkabau, terdapat adagium ABS-SBK (adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah). namun dalam praktiknya, terkadang terlihat hukum adat lebih mendominasi dibandingkan hukum Islam dan hukum nasional. Oleh karena itu, menarik untuk diketahui bagaimana sebenarnya konsep hukum adat di Minangkabau. 

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana sebenarnya konsep Tigo Tali Sapilin ?
  2. Bagaimana yang dimaksud dengan Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah dalam konsep Tigo Tali Sapilin ?
  3. Bagaimana kedudukan hukum perkwawinan nasional dalam konsep Tigo Tali Sapilin ?

PEMBAHASAN
---------------------
Konsep Perkawinan dalam Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat adalah istilah yang diberikan oleh kalangan ilmu pengetahuan hukum pada masa silam kepada kelompok, pedoman-pedoman dan kenyataan yang mengatur dan menertibkan kehidupan rakyat Indonesia. Kalangan ilmuwan pada saat itu melihat bahwa rakyat Indonesia yang hidup di pelosok-pelosok hidup dalam ketertiban dan mereka hidup tertib dengan berpegang pada peraturan yang mereka buat sendiri (Koesnoe, 1979: 122).

Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Adat Recht. Istilah ini terdapat dalam buku De Atjehers (orang-orang Aceh), yang disusun oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1893. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh Van Vollenhoven, yang pada waktu itu memang sangat intens meneliti tentang hukum adat, dan hingga saat ini istilah hukum  adat selalu digunakan sebagai istilah teknis yuridis (Bushar Muhammad, 1994: 1). Menurut Van Vollenhoven membedakan antaraadat dan hukum adat dilihat dari unsur sanksi, sehingga tidak semua adat merupakan hukum adat. Permasalahannya sudah tepatkah kriteria sanksi tersebut dijadikan dasar untuk memahami hukum adat yang sesungguhnya. Menurut M Koesnoe, antara konsep hukum barat dan hukum adat mempunyai perbedaan. Dalam hukum barat, individu dipandang sebagai makhluk yang merdeka dan bebas serta mempunyai kepentingan, dan tiap individu akan berupaya keras keinginannya dapat dipenuhi secara maksimal. Untuk itu perlu adanya sanksi sebagai syarat  jaminan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Hal ini berbeda dengan konsep hukum adat, yang memandang individu sebagai bagian dari masyarakat dan mempunyai sifat kebersamaan dan komunal yang kuat (Hilman Hadikusuma, 1992: 13).

Bentuk-bentuk Perkawinan dalam Hukum Adat di Indonesia
Pada umumnya menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan Perikatan Adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, ia juga menyangkut hubungan adat istiadat, kewarisan, kekerabatan, kekeluargaan, ketetanggaan serta menyangkut upacara adat dan keagamaan. Hukum adat perkawinan biasanya merupakan urusan kerabat keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat (Imam Sudiyati, 1991: 17). Demikian pula Teer Haarmenyatakan bahwa Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi (Hilman Hadikusuma, 2003: 8). Dan begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana dikemukakan oleh: Van Vollenhoven bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan diatas kemampuan manusia (Hilman Hadikusuma, 2003: 9).

Konsep kebersamaan dan komunal yang kuat tersebut juga tercermin dalam konsep perkawinan dalam hukum dat di Indonesia, dimana pada prinsipnya adanya perbedaan konsepsi hukum perkawinan adat lebih disebabkan karena terdapatnya perbedaan sistem kekerabatan atau sistem garis keturunan yang dianut oleh masing-masing kelompok masyarakat. Di kalangan masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka konsep perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "jujur" (di daerah Batak disebut mangoli, beleket di Jejang, muku di Palembang, nangkuk dan hibal di Lampung). Sedangkan pada masyarakat adat yang menganut sistem matrilineal atau juga patrilineal alternerend (kebapakan beralih-alih) bektuk perkawinan adat yang berlaku adalah perkawinan "semenda". Pada lingkungan masyarakat adat yang menganut sistem parental atau bilateral maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "bebas" (mandiri). Dalam perkembangannya, ketiga macam bentuk perkawinan ini tumbuh beragam variasi yang bermacam-macam kepentingan kekerabatan yang bersangkutan. Disamping itu juga muncul satu bentuk perkawinan campuran dan perkawnan lari.
Di dalam hukum adat juga terdapat berbagai larangan, yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat.  Beberapa larangan dalam hukum adat perkawinan yaitu karena hubungan kekerabatan, karena perbedaan kedudukan, dan karena beda agama.

Konsep Tigo Tali Sapilin dalam Hukum Perkawinan di Masyarakat Adat Minagkabau
Masyarakat Minagkabau yang berada pada tigo luhak masih menjunjung tinggi nilai adat, terutama dalam upacara adat dan perkawinan. Mengisi adat itu penting, karena adat bagian dari rasa malu yang dimiliki oleh sebuah keluarga dan kaum, jika suatu kaum tidak beradat maka kaum itu tidak dianggap. Adat menetukan status di dalam masyarakat karena merupakan suatu yang sakral yang mendoktrin semua struktur sosial yang ada pada masyarakat. Adat juga merupakan sebuah prestise yang bernialai tinggi,  sehingga memaksa masyarakat Minangkabau untuk melaksanakan adat, dan menjadikan adat sebagai aturan tertinggi yang wajib dipatuhi dalam kehidupan. Masyarakat Minangkabau menilai bahwa, bukan adat yang mengikuti syara', tetapi adat menyesuaikan syara', hal tersebut dikarenakan adat terlebih dahulu ada ketimbang syara'. Syara' berintegrasi di dalam adat, sehingga masyarakat memiliki anggapan bahwa syara' tidak lebih tinggi kedudukan dari pada adat, karena adat Minangkabau lebih dahulu ada ketimbang Islam masuk ke tanah Minang. Akan tetapi Minangkabau yang hidup saat ini merupakan hasil peleburan syara' dengan adat Minagkabau itu sendiri (Surya Prahara, 2015: 154).

Di dalam hukum adat, perkawinan diatur secara kompleks dan setiap proses harus diikuti, karena semua prosesi mempunyai makna yang tinggi, salah satu diantaranya adalah makna untuk menghormati leluhur masyarakat Minangkabau dan penghormatan terhadap pemuka adat serta niniak mamak. Masyarkat Minagkabau menilai bahwa perkawinan yang sah adalah perkawina yang sesuai dengan adat dan syara'. Adat merupakan doktrin tertinggi dalam masyarakat Minangkabau sedangkan perkawinan di dalam syara' adalah sebagai pelengkap dan formalitas (rukun dan syarat yang harus dilaksanakan menurut ketentuan agama) dalam setiap melakukan kegiatan adat. Syara' merupakan penghubung antara adat dengan hukum Islam yang mengatur mengenai perkawinan terutama mengenai rukun dan syarat nikah. Namun kadang hukum adat sedikit berbeda dengan syara' seperti dalam hal larangan perkawinan sepasukuan di Minangkabau yang jelas tidak diatur dalam syara', padahal hal tersebut tidaklah bertentangan dengan syara' (Surya Prahara, 2015: 155).

Dalam konteks ini, hukum perkawinan nasional berada pada tataran dogmatis penyeragaman ketentuan perkawinan yang diciptakan oleh pemerintah dan berisi mengenai bagaimana perkawinan tersebut diatur dan dilindungi oleh hukum. Tujuan hukum perkawinan nasional dibuat adalah untuk membuat perkawinan tersebut menjadi sistematis, keseragaman (mengingat Indonesia memiliki ragam jenis suku) dan membuat sebuah perkawinan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehinggga dilindungi oleh hukum dan Pemerintah. Perkawinan pada kacamata hukum merupakan suatu perbuatan hukum yang harus dilindungi oleh hukum, karena hal tersebut memilki implikasi-implikasi lain yang menyangkut hak, kewajiban dan tanggung jawab dari masing-masing pihak. Dengan adanya hukum nasional tentunya tidak hanya menimbulkan implikasi positif pada masyarakat adat, namun juga terdapat implikasi negatif yang sangat berpengaruh terhadap keefektifan sebuah Undang-undang.

Dengan demikian, penggunaan konsep Tigo Tali Sapilin didalam perkawinan di Minangkabau memiliki spesifikasi dan fungsi masing-masing, dimana adat sebagai pelaksana dari perkawinan yang terdiri dari berbagai macam prosesi dan upacaranya, syara’ sebagai rukun yang harus dilakukan dan harus ada didalam perkawinan, dan hukum perkawinan nasional sebagai legailitas formal untuk pengesahan perkawinan didalam pemerintahan dan mendapatkan perlindungan hukum yang pasti. Kedudukan hukum-hukum tersebut dalam mengatur perkawinan di Minangkabau bertingkat-tingkat. Hukum adat menjadi hukum yang berada pada posisi paling tinggi dalam mengatur hal tersebut.

Hukum adat dalam upacara perkawinan adalah sebagai penentu sah atau tidaknya sebuah perkawinan, jika adat dipakai atau diisi maka masyarakat akan mengakui status perkawinan tersebut, namun sebaliknya jika perkawinan tersebut tidak diisi oleh adat maka masyarakat tidak akan mengakui perkawinan tersebut sehingga adat tinggi posisinya ditengah masyarakat. pandangan masyarakat Minangkabau melihat pemenuhan suatu adat sebagai suatu prestise, karena semakin banyak atau lengkap adat yang dipakai maka orang tersebut akan dianggap sebagai orang yang terpandang, apalagi hal-hal yang melibatkan pemangku adat, penghulu, atau orang-orang yang dianggap penting didalam adat, maka akan memilki nilai yang sangat tinggi di hadapan masyarakat adat. Dari sisi lain, terlihat bahwa di dalam penyelenggaraan perkawinan adat oleh masyarakat adat merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada niniak mamak, pemangku adat, penghulu dan sebagainya, hal ini dikarenakan masyarakat meninggikan mereka didalam adat, dan mereka menduduki pisisi penting didalam adat. 

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa didalam perkawinan adat yang melibatkan hukum adat terdapat kekurangan dan kelebihan, diantaranya kekurangannya terdapat pada biaya dan melibatkan banyak pihak, sedangkan kelebihannya adalah prosesi adat tersebut menentukan posisi keluarga yang menyelenggarakan ditengah-tengah masyarakat adat, diistilahkan besar kecilnya acara menentukan prestise yang didapat dari maysarakat.

Kedudukan syara' dalam adat di Minangkabau memang merupakan sendi utama, akan tetapi masyarakat Minangkabau menganggap adat lebih dahulu lahir ketimbang syara'. Syara’ baru muncul pada peradaban Minangkabau pada abad ke XVI, ketika Syeh Burhanuddin membawa agama Islam sampai ke Pariaman, sejak itulah masyarakat Minangkabau mengenal adagium ABS-SBK (adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah) (Surya Prahara, 2015: 157).

Maka oleh karena itu, dalam praktik ritual perkawinan, hukum adat Minangkabau tidak terkesan tidak berjalan sebagaimana tuntutan hukum Islam, misalnya dalam hal pinangan (khitbah) dan mahar, yang dalam kelompok masyarakat adat tertentu di kawasan Pariaman, dilakukan oleh pihak keluar perempuan. Di samping itu, ketentuan mengenai larangan melangsungkan perkawinan (mahram) juga menyalahi ketentuan hukum Islam maupun hukum nasional.

Permasalahan hubungan adat dengan Islam banyak menimbulkan ambiguitas didalam realita perkawinan di Minangkabau. Banyak hal dalam ketentuan yang dilarang oleh adat tetapi tidak dilarang oleh agama. Contoh lainnya pada perkawinan siri, perkawinan sasuku, dan perkawinan yang dijodohkan. Dalam hukum Islam perkawinan siri pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Masyarakat beranggapan bahwa syara’ dapat disandingkan dengan aukum adat, karena sesuai dengan apa yang telah dijelaskan diatas bahwa hukum adat menyesuaikan dengan syara’, terutama didalam hukum perkawinan. Didalam syara’ terdapat rukun-rukun dan ketentuan mengenai perkawinan yang juga dipakai oleh hukum adat. Sehingga kedua konsep hukum ini saling berelaborasi dan mengisi kekurangan dari masing-masing hukum, tetapi pandangan masyarakat minangkabau tetap menyatakan bahwa hukum adat lebih tinggi kedudukannya dibanding syara’. Hal yang kontras terlihat adalah posisi konsep hukum nasional yang berada pada posisi paling bawah, dimana seharusnya teori positivisme hukum berlaku secara utuh, dimana seharusnya hukum nasional sebagai hukum yang diciptakan oleh Pemerintah menjadi acuan paling utama didalam kehidupan, pada hal ini adalah hukum perkawinan (Surya Prahara, 2015: 156).

Dari pembahasan sebelumnya juga telah dijalaskan bahwa kedudukan hukum-hukum tersebut bertingkat-tingkat, dimana pada tingkat paling atas di tempati oleh hukum adat, dan kemudian syara’ dan hukum nasional. hukum nasional dianggap hanya sebagai acuan utama perkawinan dalam aspek legalitas yang diberikan oleh pemerintah.

Pilihan-pilihan hukum tersebut menciptakan paradoks dalam penggunaannya, biasa saja masyarakat secara individu memilih salah satu dari konsep hukum saja, seperti: Menggunakan hukum adat saja didalam perkawinan, menggunakan syara’ saja didalam perkawinan, menggunakan hukum perkawinan nasional saja didalam perkawinan, menggunakan hukum adat dan syara’ didalam perkawinan, menggunakan hukum adat dan hukum nasional didalam perkawinan, menggunakan syara’ dan hukum perkawinan nasional didalam perkawinan (Surya Prahara, 2015: 157).

PENUTUP
---------------
Kesimpulan
  1. Dalam konsep Tigo Tali Sapilin dalam perkawinan masyarakat Minagkabau adapun hukum adat, hukum syara’ (hukum Islam), dan hukum nasional digunakan berbarengan, namun pada kedudukannya hukum adat menduduki posisi paling penting dan tinggi, kemudian baru setelah itu hukum syara’ dan hukum Nasional.
  2. Adegium adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah adalah dimana syara’lah yang mengikuti adat, dan bukanlah adat yang mengikuti syara’, hal ini dikarenakan bahwa adat terlebih dahulu ada pada masyarakat minangkabau, sedangkan syara’ dianggap sebuah sistem yang muncul belakangan, sehingga masyarakat minangkabau menyatakan syara’ terintegrasi didalam adat, dan memiliki peran serta fungsi masing-masing.
  3. Kedudukan hukum nasional dalam konsep tigo tali sapilin adalah berada pada posisi paing bawah, namun bukan berarti tidak digunakan, tetapi peranan dipandang tidak sepenting dua konsep hukum lainnya, yaitu hukum adat dan syara’.


DAFTAR PUSTAKA
----------------------------
Buku-buku

Bushar Muhammad, Azas-Azas Hukum Adat: Suatu PengantarPradya ParamitaJakarta: 1994.
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung: 2003.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undanganHukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung: 2003.
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung: 1992.
Imam Sudiyati, Hukum Adat, 1991.
M. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat DewasaIniAirlangga Univ. Press, Surabaya: 1979.
Soepomo, Hukum Adat di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta: 1986.

Jurnal/Majalah

Surya Prahara, Paradoks Hukum dalam Adat Perkawinan Minangkabau (Studi Sosiologi Hukum dalam Perkawinan), Menara Ilmu Vol. IX Jilid 1, No.56 Maret 2015.

Jumat, 22 Maret 2019

PENYELESAIAN KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA/MAHKAMAH SYAR'IYAH (ACEH)

Dalam menangani sebuah kasus tentunya masyarakat harus mengetahui langkah-langkah hukum yang harus ditempuh, disini penulis ingin memberi contoh langkah penyelesaian kasus talak atau lebih tepatnya permohonan talak yang dilakukan oleh suami terhadap isteri kepada pengadilan. dan kasus cerai gugat atau fasakh atau gugatan perceraian yang dilakukan isteri terhadap suami kepada pengadilan.
Foto : Kantor Mahkamah Syar'iyah Aceh di Komplek Keistimewaan Aceh

Penyelesaian Kasus Permohonan Talak

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami) atau kuasanya adalah :
  • Mengajukann permohonan secara tertulis atau secara lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah.
  • Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah tentang tata cara membuat surat permohonan yang baik dan benar.
  • Surat permohonan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus ada persetujuan termohon.

Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah :
  • Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon.
  • Bila termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon .
  • Bila termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
  • bila keduanya (pemohon dan termohon) bertempat kediaman di luar negeri maka permohonan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada pengadilan agama jakarta pusat.
  • permohonan tersebut memuat tiga unsur yaitu : 
  1. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman pemohon dan termohon (identitas keduanya)
  2. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum)
  3. Petitum (hal-hal yang menjadi tuntutan berdasarkan posita)

Proses penyelesaian perkara
  • Pemohon mendaftarkan permohonan perkara cerai talak  ke pengadilan agama/mahkamah syar'iyah di tingkat pertama.
  • Pemohon dan termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar'iyah untuk menghadiri persidangan.

Tahapan persidangan
  • Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami isteri harus datang secara pribadi tidak boleh dikuasakan/diwakilkan.
  • Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi dan pengadilan biasanya akan menunjuk seorang mediator.
  • Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. dalam tahapan menjawab sebelum pembuktian termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugatan balik)

Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah atas permohonan cerai talak suami terhadap isteri sebagai berikut :
  • Permohonan dikabulkan. Apabila termohon tidak puas dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi melalui pengadilan agama/mahkamah syar'iyah tersebut.
  • Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi melalui pengadilan agama/mahkamah syar'iyah tersebut.
  • Permohonan diterima. Maka pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
  • Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka :
  1. Pengadilan agama/mahkamah syar'iyah menentukan hasil sidang penyaksian ikrar talak.
  2. Pengadilan agama memanggil pemohon dan termohon untuk melaksanakan ikrar talak.
  3. Jika dalam tenggang waktu enam bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan atau hukum yang sama.
  4. Setelah ikrar talak diucapkan, panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya tujuh hari setelah penetapan ikrar talak.


Penyelesaian Kasus Gugatan Perceraian

Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (isteri) atau kuasanya adalah :
  • Mengajukan gugatan secara tertulis atau secara lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah.
  • Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah tentang tata cara membuat surat permohonan yang baik dan benar.
  • Surat permohonan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus ada persetujuan termohon.
  • Guagatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/amahkamah syar'iyah.
  • Bila penggugat meninggalkan tempat kediaman tang telah disepakati bersama tanpa izin tergugat, maka gugatan diajukan kepada pangadilan agama/mahkamah syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
  • Bila penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
  • Bila keduanya (penggugat dan tergugat) bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau kepada pengadilan agama Jakarta Pusat.
  • permohonan tersebut memuat tiga unsur yaitu : 
  1. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman pemohon dan termohon (identitas keduanya)
  2. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum)
  3. Petitum (hal-hal yang menjadi tuntutan berdasarkan posita)
  • Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau setelah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
  • Membayar biaya perkara yang ditetapkan oleh majelis hakim dalam putusan.
  • penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syar'iyah.

Proses penyelesaian perkara
  • Penggugat mendaftarkan perkara gugatan ke pengadilan agama/mahkamah syar'iyah.
  • penggugat dan tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar'iyah untuk menghadiri persidangan.


Tahapan-tahapan persidangan :

  • Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami isteri harus datang secara pribadi tidak boleh diwakilkan atau dikuasakan.
  • Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dulu menempuh jalur mediasi
  • Apabila mediasi tidak  berhasil juga, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. dalam tahapan jawab menjawab sebelum pembuktian tergugat dapat mengajukan gugatan rekonveksi (gugat balik).

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar'iyah atas cerai gugat sebagai berikut :
  • Gugatan dikabulkan. Apabila tergugat tidak puas maka dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi melalui pengadilan agama/mahkamah syari'yah tersebut.
  • Gugatan ditolak. Penggugat juga dapat mengajukan banding  ke pengadilan tinggi melalui pengadilan agama/mahkamah syari'yah tersebut.
  • Gugatan diterima. Maka penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
  • Setelah putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera pengadilan agama/mahkamah syar'iyah memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya tujuh hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

Senin, 18 Maret 2019

SURAT KUASA KHUSUS

Aspek Surat Kuasa (khusus)

  • Surat kuasa dilihat dari bentuknya bisa dikenal menjadi dua macam, yaitu kuasa yang diberikan secara lisan atau ucapan dan kuasa yang diberikan secara tertulis atau surat.
  • Kuasa secara lisan diatur dalam HIR dimana seseorang dapat secara lisan memberikan kuasanya kepada pihak lain dihadapan Hakim yang dilakukan di depan persidangan. Walaupun kuasa dapat diberikan  secara lisan namun dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan, tentu saja hal tersebut akan menyulitkan terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada pegangan berupa surat sebagai bukti autentik.
  • Bila surat kuasa diberikan dibawah tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu caranya adalah dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima kuasa.
  • Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya tidak dapat dilakukan dengan pencabutan hanya kepada Notaris dan tembusanya kepada penerima kuasa saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya harus dilakukan dengan suatu gugatan di Pengadilan. 
  • Surat Kuasa (khusus)  perlu dicermati dengan baik karena kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa tersebut akan membuat batal demi hukum apa yang telah dikuasakan tersebut.[1]
  • Kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa (khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil akan membuat gugatan yang diajukan menjadi batal atau dinyatakan tak dapat diterima oleh Pengadilan.
  • Dalam pembuatan Surat kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus memuat:[2] Nama para pihak, subjek (identitas); Pokok Sengketa atau obyek sengketa; Nama Pengadilan; Apa berlaku juga untuk banding/kasasi.
  • Agar tidak terjadi kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memberikan kuasa maka dalam hal ini perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :
a.       Apakah pemberi kuasa merupakan orang perorangan
Apabila yang memberikan orang perorangan (persoonlijke) maka hal-hal yang seyogyanya diperhatikan adalah si pemberi kuasa  termasuk dalam pengertian cakap hukum diantaranya dia adalah pemilik barang yang disengketakan, tidak hilang ingatan, tidak berada dalam pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses gugatan berjalan pemberi kuasa meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari semua ahli waris untuk melanjutkan gugatan maka gugatan dapat gugur.[3]
b.   Apakah pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang tidak berbadan hukum atau yang berbadan hukum ?
      Seperti kita ketahui bersama bahwa pemberi kuasa dapat merupakan suatu kumpulan orang –orang namun tidak berbadan hukum seperti  Persekutuan Perdata (matschaap), Firma dan Naamloze Vennoschap/CV. Bentuk persekutuan perdata banyak kita jumpai pada praktek dokter bersama, Law Firm (kantor  hukum) .
Pada bentuk persekutuan perdata maupun firma maka yang berhak memberi kuasa  adalah mereka para sekutu yang tercantum dalam akta pendirian persekutuan tersebut. Sedangkan  pada CV maka pemberi kuasa adalah sekutu komanditer.
       Apabila  pemberi kuasa berbentuk suatu badan hukum maka harus dibedakan antara badan hukum yang berlatar belakang ketentuan sebagian hukum publik dan sebagian hukum privat dalam hal ini hukum perdata, juga ada badan hukum yang murni tunduk dan diatur dalam ketentuan hukum perdata.
     Mengenai badan hukum publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum perdata diantaranya adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak yang dapat memberi  kuasa  masing-masing   adalah  Kepala  Jawatan  untuk Perusahaan Jawatan, Direksi Perum untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan.
      Sedangkan untuk badan hukum lain yang murni tunduk pada hukum perdata adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun. Untuk Perseroan Terbatas dibedakan antara PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang pada PT Terbuka yaitu PT yang telah melakukan go public masih tergantung pada para pemegang sahamnya sehingga dapat berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri atau yang bergerak dibidang Perbankan. Karenanya dalam mencermati siapa yang berhak dalam memberikan kuasa tergantung dari anggaran dasar PT tersebut yang tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas saja tapi juga memperhatian ketentuan yang diatur dalan peraturan perundangan pasar modal, Perbankan.
        Seperti misalnya dalam perbankan maka bila bank tersebut masih sehat maka pihak yang dapat memberikan  kuasa adalah direksi yang ditunjuk dalam anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil alih oleh Pemerintah karena dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1998 Direksi tidak dapat memberi kuasa kepada pihak lain sebelum ada persetujuan dari pihak BPPN.
         Sedangkan Penerima Kuasa disini adalah mereka yang telah menjadi Sarjana Hukum dan telah mempunyai ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh organisasi Advokat.  Dalam praktek Penerima Kuasa dapat lebih dari satu orang, karenanya dalam Surat Kuasa tersebut para Penerima Kuasa yang namanya tercantum harus menandatangani surat kuasa tersebut. Konsekwensinya adalah dalam membuat gugatan bila sebagai Penggugat atau  membuat Jawaban sebagai Terrgugat  maka para Penerima Kuasa seluruhnya harus menandatangani surat-surat tersebut .
      Kadang-kadang sering dalam praktek salah satu penerima kuasa sedang menghadiri persidangan di luar kota tentunya penandatangan surat tersebut tidak dapat ditunda karena jadwal persidangan telah ditentukan.  Maka untuk menghindari hal tersebut dalam surat kuasa pada kolom penerima kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sebagai penerima kuasa. Dengan dimasukannya klausul tersebut maka bila ada salah satu atau lebih penerima kuasa tidak dapat menandatangani baik itu gugatan atau Jawaban karena sedang berada di luar kota, maka penandatangan surat tersebut cukup oleh salah satu penerima kuasa saja.




Contoh Surat Kuasa Khusus


Kantor Advokat
Fulan dan Rekan
Jl. Sudirman IV, No. 71, Geuceu Meunara, Banda Aceh
No. Hp: 0812 1444 xxx
Email : zfatahillah1@gmail.com
 
SURAT KUASA KHUSUS

Yang bertanda tangan di bawah ini:
ZULHAS Bin H. AHMAD, Umur ± 29  tahun, Pekerjaan Wiraswasta, Bertempat tinggal di Lr. Tgk. Hasan, Desa Lamseupeung, Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh.
Dalam hal ini memilih tempat kediaman hukum (domicilie) di kantor kuasanya yang tersebut di bawah ini.
Untuk selanjutnya disebut sebagai -----------------------------------------------------------PEMBERI KUASA.

Menerangkan dengan ini memberi kuasa penuh kepada:

  1. FULAN, S.HI,
  2. FULANAH, S.HI,
Keduanya adalah Advokat, yang beralamat  di Jalan Sudirman IV, No. 71, Geuceu Meunara, Banda Aceh
Untuk selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------------PENERIMA KUASA.

---------------------------------------------------------- K H U S U S -----------------------------------------------------

Untuk dan atas nama oleh karena itu mendampingi Pemberi Kuasa sehubungan dengan perkara Dugaan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Jo Pasal 351 KUHP.

Untuk keperluan tersebut Penerima Kuasa berwenang:
Mendampingi Pemberi Kuasa mulai dari tingkat Penyidikan, Penuntutan hingga di depan persidangan Pengadilan Negeri, Menghadap dan menghadiri semua persidangan, menghadap Instansi-inastansi dan jawatan- jawatan, baik pemerintah maupun swasta, hakim-hakim, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, Kejaksaan, Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mengajukan praperadilan. Mengajukan permohonan penangguhan penahanan, penghentian penyidikan, grasi, amnesti dan abolisi. Memberi sekalian keterangan dan mengajukan saksi- saksi a decharge, menolak dan menerima saksi- saksi. Memohon Putusan dan Turunan Putusan Pengadilan. Mengajukan banding dan upaya hukum lainnya serta menandatangani surat-surat yang diperlukan untuk itu. Membayar dan menerima sejumlah pembayaran serta menerima dan memberi tanda terima pembayaran/penerimaan uang (kwitansi). Tegasnya Penerima Kuasa dapat melakukan segala hal dan urusan serta tindakan yang tidak bertentangan dengan hukum untuk kepentingan hukum pemberi kuasa;
Kuasa ini diberikan dengan hak untuk melimpahkan sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain (Substitusi) dan dengan hak untuk mencabut kembali substitusi tersebut. Kuasa ini tidak dapat di cabut, kecuali mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Penerima Kuasa.

Demikian Surat Kuasa ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Penerima Kuasa,                                                                  Banda Aceh, 09 Maret 2019
                                                                                              Pemberi Kuasa,
Ttd
                                                                                               Ttd
FULAN, S.H   

Ttd                                                                                         ZULHAS bin H. AHMAD

FULANAH, S.HI                                                                                                                                                                                                                 





[1] Putusan MA-RI No.531K/Sip/1973 tgl.25 Juli 1974 yang memberi fatwa: “Surat kuasa umum tak dapat dipakai sebagaimana surat kuasa khusus untuk berperkara diPengadilan”.
[2] Ali Budiarto. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang Piutang.Jakarta: Ikahi, Cet. I., April 2000.
[3] Putusan MA-RI No. 431 K/Sip/1973 tgl. 9 Mei 1974.

Jumat, 15 Maret 2019



PEMERINTAH INDONESIA DAN KASUS HAM BERAT DI ACEH
(Sebuah Harapan Korban Konflik untuk Mendapatkan Keadilan)

Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (selanjutnya disebut GAM) dengan Pemerintah RI, yang dimulai sejak ASNLF didirikan di Gunong Halimon, Pidie, pada 4 Desember 1976, telah melahirkan reaksi keras dari Jakarta.

Sepanjang tahun 1977 hingga 2005, ada 16 Operasi Militer (OM) yang digelar dalam rangka menumpas perlawanan GAM yang dipimpin oleh Wali Nanggroe Aceh Tgk. Hasan di Tiro, dan dibantu oleh sejumlah pendukungnya. Akibat dari operasi-operasi tiada henti tersebut belasan ribu nyawa melayang, mayoritas adalah sipil tak bersenjata. Ratusan perempuan dan anak-anak dibawah umur diperkosa secara keji dan biadab, dan segala bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya seperti penghilangan, penculikan, adu domba, rumah warga, sekolah dan pesantren (Dayah) dibakar tanpa belas kasihan. Penganiayaan dan pembunuhan bahkan pembantaian secara massal yang dipersaksikan langsung oleh anak isteri atau anggota keluarga lainnya (ini sungguh sangat membunuh mental yang menyaksikan) bahkan tidak sedikit yang kemudian menjadi gila atau stress berkepanjangan.

( Anggota TNI sedang melakukan Operasi Militer di Pedalaman Aceh)

Berikut ini 16 Operasi Militer yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata RI (ABRI) baik dari unsur TNI maupun POLRI (kini keduanya terpisah dalam organisasi berbeda dan dengan UU tersendiri) :
  1. Operasi Nanggala (1977 - 1982)
  2. Operasi Siwah (1982 - 1989)
  3. Operasi Jarring Merah (DOM I-IX) (Mei 1989 - 7 Agustus 1998)
  4. Operasi Wibawa (Januari - April 1999)
  5. Operasi Sadar Rencong I (Mei 1999 - Januari 2000)
  6. Operasi Sadar Rencong II (Februari - Mei 2000)
  7. Operasi Cinta Meunasah I (Juni - September 2000)
  8. Operasi Cinta Meunasah II (September 2000 - Februari 2001)
  9. Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum I (Februari - Agustus 2001)
  10. Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum II (September 2001 - Februari 2002)
  11. Operasi Pemulihan Ketertiban III (Februari - November 2003)
  12. Operasi Darurat Militer I (19 Mei - 18 November 2003)
  13. Operasi Darurat Militer II (19 November 2003 - 18 Mei 2004)
  14. Operasi Darurat Sipil I (19 Mei 2004 - 18 November 2004)
  15. Operasi Darurat Sipil II (19 November 2004 - 18 Mei 2005)
  16. Tertip Sipil (19 Mei 2005 - 4 Agustus 2005)

Itulah beberapa Operasi Militer yang dilakukan oleh Pemerintah RI dalam hal ini ABRI. Sejak tahun 1977 hari demi hari berlalu tidak begitu saja, tapi Aceh saat itu dipenuhi darah dan air mata, tangisan terdengar dimana-mana.

Tapi kini Aceh telah Damai akibat proses Penandatanganan Nota Kesepahaman antara RI dan GAM pada 15 Agustus di Helsinski Finlandia, tapi pelanggar HAM berat itu pun belum diadili sesuai dengan amanat MoU Helsinski. Janda dan anak yatim akibat kekejaman perang itu menunggu penuh harap akan keadilan terhadap ayah dan suami mereka, keadilan kepada isteri dan ibu mereka, terhadap anak dan cucu mereka, terhadap harta benda mereka, terhadap fisik dan mental mereka.