Rabu, 27 Maret 2019

PENDAHULUAN
-----------------------

HUKUM ADAT PERKAWINAN DI MINANGKABAU
(Konsep Hukum Tigo Tali Sapilin)

Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan tradisi dan banyak melahirkann banyak hukum adat dari berbagai masyarakat adat. Salah satunya adalah hukum adat perkawinan yang biasanya berisikan aturan-aturan, tata cara dan prosesi perkawinan yang diwariskan oleh para leluhur dan tetap akan dipakai dan ditaati oleh seluruh masyarakat adat.

Untuk memahami dan mempelajari hukum adat perkawinan sendiri harus dipahami mngenai pola susunan masyarakatnya, apakah itu metrilineal, patrilineal, parental atau teritorial (Soepomo, 1986: 67).

hukum adat perkawinan merupakan aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan (Hilman Hadikusuma, 2003: 182). Perkawinan menurut hukum adat sendiri merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, pribadi, tergantung pada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Namun lahirnya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan telah menyebabkan terjadinya unifikasi di bidang hukum perkawinan.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, hukum Islam telah lama menjadi hukum yang hidup (living law) di tengah masyarkat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Von Savigny, hukum yang baik adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarkat. Maka sudah barang tentu hukum adat yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat saat ini telah mengalami berbagai penyesuaian dan infiltrasi dengan hukum lainnya. Indonesia sebagai negara yang majemuk sebelumnya telah mempunyai hukum adat perkawinan sendiri-sendiri. Sekalipun sejak lahir UU No. 1/1974 tentang Perkawinan bidang hukum perkawinan diunifikasi, namun hukum adat tetap hidup dinamis dan berkembang di tengah-tengah masyarkat.

Eksistensi hukum adat sebagai salah satu komponen sistem hukum juga berkontribusi dalam pembentukan hukum Nasional. Namun di daerah-daerah tertentu, ternyata terjadi pergulatan di antara hukum perkawinan yang digunakan. seperti dalam hukum adat perkawinan Minangkabau, dimana dikenal konsep hukum Tigo Tali Sapilin, yang terdiri dari hukum adat, hukum syara' dan hukum nasional. Digunakan ketiga hukum ini dalam sistem hukum perkawinan di Minangkabau membuat kedudukan setiap hukum tersebut menjadi pertanyaan. Hal ini dikarenakan setiap sistem hukum tersebut memiliki aturan masing-masing dalam mengatur sistem perkawinan di Minangkabau. Aturan-aturan tersebut pun ada yang saling mendukung dan bertentangan satu dengan yang lainnya dan menimbulkan paradoks hukum mengenai perkawinan tersebut.

Di dalam masyarakat Minangkabau, terdapat adagium ABS-SBK (adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah). namun dalam praktiknya, terkadang terlihat hukum adat lebih mendominasi dibandingkan hukum Islam dan hukum nasional. Oleh karena itu, menarik untuk diketahui bagaimana sebenarnya konsep hukum adat di Minangkabau. 

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana sebenarnya konsep Tigo Tali Sapilin ?
  2. Bagaimana yang dimaksud dengan Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah dalam konsep Tigo Tali Sapilin ?
  3. Bagaimana kedudukan hukum perkwawinan nasional dalam konsep Tigo Tali Sapilin ?

PEMBAHASAN
---------------------
Konsep Perkawinan dalam Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat adalah istilah yang diberikan oleh kalangan ilmu pengetahuan hukum pada masa silam kepada kelompok, pedoman-pedoman dan kenyataan yang mengatur dan menertibkan kehidupan rakyat Indonesia. Kalangan ilmuwan pada saat itu melihat bahwa rakyat Indonesia yang hidup di pelosok-pelosok hidup dalam ketertiban dan mereka hidup tertib dengan berpegang pada peraturan yang mereka buat sendiri (Koesnoe, 1979: 122).

Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Adat Recht. Istilah ini terdapat dalam buku De Atjehers (orang-orang Aceh), yang disusun oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1893. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh Van Vollenhoven, yang pada waktu itu memang sangat intens meneliti tentang hukum adat, dan hingga saat ini istilah hukum  adat selalu digunakan sebagai istilah teknis yuridis (Bushar Muhammad, 1994: 1). Menurut Van Vollenhoven membedakan antaraadat dan hukum adat dilihat dari unsur sanksi, sehingga tidak semua adat merupakan hukum adat. Permasalahannya sudah tepatkah kriteria sanksi tersebut dijadikan dasar untuk memahami hukum adat yang sesungguhnya. Menurut M Koesnoe, antara konsep hukum barat dan hukum adat mempunyai perbedaan. Dalam hukum barat, individu dipandang sebagai makhluk yang merdeka dan bebas serta mempunyai kepentingan, dan tiap individu akan berupaya keras keinginannya dapat dipenuhi secara maksimal. Untuk itu perlu adanya sanksi sebagai syarat  jaminan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Hal ini berbeda dengan konsep hukum adat, yang memandang individu sebagai bagian dari masyarakat dan mempunyai sifat kebersamaan dan komunal yang kuat (Hilman Hadikusuma, 1992: 13).

Bentuk-bentuk Perkawinan dalam Hukum Adat di Indonesia
Pada umumnya menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan Perikatan Adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, ia juga menyangkut hubungan adat istiadat, kewarisan, kekerabatan, kekeluargaan, ketetanggaan serta menyangkut upacara adat dan keagamaan. Hukum adat perkawinan biasanya merupakan urusan kerabat keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat (Imam Sudiyati, 1991: 17). Demikian pula Teer Haarmenyatakan bahwa Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi (Hilman Hadikusuma, 2003: 8). Dan begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana dikemukakan oleh: Van Vollenhoven bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan diatas kemampuan manusia (Hilman Hadikusuma, 2003: 9).

Konsep kebersamaan dan komunal yang kuat tersebut juga tercermin dalam konsep perkawinan dalam hukum dat di Indonesia, dimana pada prinsipnya adanya perbedaan konsepsi hukum perkawinan adat lebih disebabkan karena terdapatnya perbedaan sistem kekerabatan atau sistem garis keturunan yang dianut oleh masing-masing kelompok masyarakat. Di kalangan masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka konsep perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "jujur" (di daerah Batak disebut mangoli, beleket di Jejang, muku di Palembang, nangkuk dan hibal di Lampung). Sedangkan pada masyarakat adat yang menganut sistem matrilineal atau juga patrilineal alternerend (kebapakan beralih-alih) bektuk perkawinan adat yang berlaku adalah perkawinan "semenda". Pada lingkungan masyarakat adat yang menganut sistem parental atau bilateral maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan "bebas" (mandiri). Dalam perkembangannya, ketiga macam bentuk perkawinan ini tumbuh beragam variasi yang bermacam-macam kepentingan kekerabatan yang bersangkutan. Disamping itu juga muncul satu bentuk perkawinan campuran dan perkawnan lari.
Di dalam hukum adat juga terdapat berbagai larangan, yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat.  Beberapa larangan dalam hukum adat perkawinan yaitu karena hubungan kekerabatan, karena perbedaan kedudukan, dan karena beda agama.

Konsep Tigo Tali Sapilin dalam Hukum Perkawinan di Masyarakat Adat Minagkabau
Masyarakat Minagkabau yang berada pada tigo luhak masih menjunjung tinggi nilai adat, terutama dalam upacara adat dan perkawinan. Mengisi adat itu penting, karena adat bagian dari rasa malu yang dimiliki oleh sebuah keluarga dan kaum, jika suatu kaum tidak beradat maka kaum itu tidak dianggap. Adat menetukan status di dalam masyarakat karena merupakan suatu yang sakral yang mendoktrin semua struktur sosial yang ada pada masyarakat. Adat juga merupakan sebuah prestise yang bernialai tinggi,  sehingga memaksa masyarakat Minangkabau untuk melaksanakan adat, dan menjadikan adat sebagai aturan tertinggi yang wajib dipatuhi dalam kehidupan. Masyarakat Minangkabau menilai bahwa, bukan adat yang mengikuti syara', tetapi adat menyesuaikan syara', hal tersebut dikarenakan adat terlebih dahulu ada ketimbang syara'. Syara' berintegrasi di dalam adat, sehingga masyarakat memiliki anggapan bahwa syara' tidak lebih tinggi kedudukan dari pada adat, karena adat Minangkabau lebih dahulu ada ketimbang Islam masuk ke tanah Minang. Akan tetapi Minangkabau yang hidup saat ini merupakan hasil peleburan syara' dengan adat Minagkabau itu sendiri (Surya Prahara, 2015: 154).

Di dalam hukum adat, perkawinan diatur secara kompleks dan setiap proses harus diikuti, karena semua prosesi mempunyai makna yang tinggi, salah satu diantaranya adalah makna untuk menghormati leluhur masyarakat Minangkabau dan penghormatan terhadap pemuka adat serta niniak mamak. Masyarkat Minagkabau menilai bahwa perkawinan yang sah adalah perkawina yang sesuai dengan adat dan syara'. Adat merupakan doktrin tertinggi dalam masyarakat Minangkabau sedangkan perkawinan di dalam syara' adalah sebagai pelengkap dan formalitas (rukun dan syarat yang harus dilaksanakan menurut ketentuan agama) dalam setiap melakukan kegiatan adat. Syara' merupakan penghubung antara adat dengan hukum Islam yang mengatur mengenai perkawinan terutama mengenai rukun dan syarat nikah. Namun kadang hukum adat sedikit berbeda dengan syara' seperti dalam hal larangan perkawinan sepasukuan di Minangkabau yang jelas tidak diatur dalam syara', padahal hal tersebut tidaklah bertentangan dengan syara' (Surya Prahara, 2015: 155).

Dalam konteks ini, hukum perkawinan nasional berada pada tataran dogmatis penyeragaman ketentuan perkawinan yang diciptakan oleh pemerintah dan berisi mengenai bagaimana perkawinan tersebut diatur dan dilindungi oleh hukum. Tujuan hukum perkawinan nasional dibuat adalah untuk membuat perkawinan tersebut menjadi sistematis, keseragaman (mengingat Indonesia memiliki ragam jenis suku) dan membuat sebuah perkawinan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehinggga dilindungi oleh hukum dan Pemerintah. Perkawinan pada kacamata hukum merupakan suatu perbuatan hukum yang harus dilindungi oleh hukum, karena hal tersebut memilki implikasi-implikasi lain yang menyangkut hak, kewajiban dan tanggung jawab dari masing-masing pihak. Dengan adanya hukum nasional tentunya tidak hanya menimbulkan implikasi positif pada masyarakat adat, namun juga terdapat implikasi negatif yang sangat berpengaruh terhadap keefektifan sebuah Undang-undang.

Dengan demikian, penggunaan konsep Tigo Tali Sapilin didalam perkawinan di Minangkabau memiliki spesifikasi dan fungsi masing-masing, dimana adat sebagai pelaksana dari perkawinan yang terdiri dari berbagai macam prosesi dan upacaranya, syara’ sebagai rukun yang harus dilakukan dan harus ada didalam perkawinan, dan hukum perkawinan nasional sebagai legailitas formal untuk pengesahan perkawinan didalam pemerintahan dan mendapatkan perlindungan hukum yang pasti. Kedudukan hukum-hukum tersebut dalam mengatur perkawinan di Minangkabau bertingkat-tingkat. Hukum adat menjadi hukum yang berada pada posisi paling tinggi dalam mengatur hal tersebut.

Hukum adat dalam upacara perkawinan adalah sebagai penentu sah atau tidaknya sebuah perkawinan, jika adat dipakai atau diisi maka masyarakat akan mengakui status perkawinan tersebut, namun sebaliknya jika perkawinan tersebut tidak diisi oleh adat maka masyarakat tidak akan mengakui perkawinan tersebut sehingga adat tinggi posisinya ditengah masyarakat. pandangan masyarakat Minangkabau melihat pemenuhan suatu adat sebagai suatu prestise, karena semakin banyak atau lengkap adat yang dipakai maka orang tersebut akan dianggap sebagai orang yang terpandang, apalagi hal-hal yang melibatkan pemangku adat, penghulu, atau orang-orang yang dianggap penting didalam adat, maka akan memilki nilai yang sangat tinggi di hadapan masyarakat adat. Dari sisi lain, terlihat bahwa di dalam penyelenggaraan perkawinan adat oleh masyarakat adat merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada niniak mamak, pemangku adat, penghulu dan sebagainya, hal ini dikarenakan masyarakat meninggikan mereka didalam adat, dan mereka menduduki pisisi penting didalam adat. 

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa didalam perkawinan adat yang melibatkan hukum adat terdapat kekurangan dan kelebihan, diantaranya kekurangannya terdapat pada biaya dan melibatkan banyak pihak, sedangkan kelebihannya adalah prosesi adat tersebut menentukan posisi keluarga yang menyelenggarakan ditengah-tengah masyarakat adat, diistilahkan besar kecilnya acara menentukan prestise yang didapat dari maysarakat.

Kedudukan syara' dalam adat di Minangkabau memang merupakan sendi utama, akan tetapi masyarakat Minangkabau menganggap adat lebih dahulu lahir ketimbang syara'. Syara’ baru muncul pada peradaban Minangkabau pada abad ke XVI, ketika Syeh Burhanuddin membawa agama Islam sampai ke Pariaman, sejak itulah masyarakat Minangkabau mengenal adagium ABS-SBK (adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah) (Surya Prahara, 2015: 157).

Maka oleh karena itu, dalam praktik ritual perkawinan, hukum adat Minangkabau tidak terkesan tidak berjalan sebagaimana tuntutan hukum Islam, misalnya dalam hal pinangan (khitbah) dan mahar, yang dalam kelompok masyarakat adat tertentu di kawasan Pariaman, dilakukan oleh pihak keluar perempuan. Di samping itu, ketentuan mengenai larangan melangsungkan perkawinan (mahram) juga menyalahi ketentuan hukum Islam maupun hukum nasional.

Permasalahan hubungan adat dengan Islam banyak menimbulkan ambiguitas didalam realita perkawinan di Minangkabau. Banyak hal dalam ketentuan yang dilarang oleh adat tetapi tidak dilarang oleh agama. Contoh lainnya pada perkawinan siri, perkawinan sasuku, dan perkawinan yang dijodohkan. Dalam hukum Islam perkawinan siri pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Masyarakat beranggapan bahwa syara’ dapat disandingkan dengan aukum adat, karena sesuai dengan apa yang telah dijelaskan diatas bahwa hukum adat menyesuaikan dengan syara’, terutama didalam hukum perkawinan. Didalam syara’ terdapat rukun-rukun dan ketentuan mengenai perkawinan yang juga dipakai oleh hukum adat. Sehingga kedua konsep hukum ini saling berelaborasi dan mengisi kekurangan dari masing-masing hukum, tetapi pandangan masyarakat minangkabau tetap menyatakan bahwa hukum adat lebih tinggi kedudukannya dibanding syara’. Hal yang kontras terlihat adalah posisi konsep hukum nasional yang berada pada posisi paling bawah, dimana seharusnya teori positivisme hukum berlaku secara utuh, dimana seharusnya hukum nasional sebagai hukum yang diciptakan oleh Pemerintah menjadi acuan paling utama didalam kehidupan, pada hal ini adalah hukum perkawinan (Surya Prahara, 2015: 156).

Dari pembahasan sebelumnya juga telah dijalaskan bahwa kedudukan hukum-hukum tersebut bertingkat-tingkat, dimana pada tingkat paling atas di tempati oleh hukum adat, dan kemudian syara’ dan hukum nasional. hukum nasional dianggap hanya sebagai acuan utama perkawinan dalam aspek legalitas yang diberikan oleh pemerintah.

Pilihan-pilihan hukum tersebut menciptakan paradoks dalam penggunaannya, biasa saja masyarakat secara individu memilih salah satu dari konsep hukum saja, seperti: Menggunakan hukum adat saja didalam perkawinan, menggunakan syara’ saja didalam perkawinan, menggunakan hukum perkawinan nasional saja didalam perkawinan, menggunakan hukum adat dan syara’ didalam perkawinan, menggunakan hukum adat dan hukum nasional didalam perkawinan, menggunakan syara’ dan hukum perkawinan nasional didalam perkawinan (Surya Prahara, 2015: 157).

PENUTUP
---------------
Kesimpulan
  1. Dalam konsep Tigo Tali Sapilin dalam perkawinan masyarakat Minagkabau adapun hukum adat, hukum syara’ (hukum Islam), dan hukum nasional digunakan berbarengan, namun pada kedudukannya hukum adat menduduki posisi paling penting dan tinggi, kemudian baru setelah itu hukum syara’ dan hukum Nasional.
  2. Adegium adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah adalah dimana syara’lah yang mengikuti adat, dan bukanlah adat yang mengikuti syara’, hal ini dikarenakan bahwa adat terlebih dahulu ada pada masyarakat minangkabau, sedangkan syara’ dianggap sebuah sistem yang muncul belakangan, sehingga masyarakat minangkabau menyatakan syara’ terintegrasi didalam adat, dan memiliki peran serta fungsi masing-masing.
  3. Kedudukan hukum nasional dalam konsep tigo tali sapilin adalah berada pada posisi paing bawah, namun bukan berarti tidak digunakan, tetapi peranan dipandang tidak sepenting dua konsep hukum lainnya, yaitu hukum adat dan syara’.


DAFTAR PUSTAKA
----------------------------
Buku-buku

Bushar Muhammad, Azas-Azas Hukum Adat: Suatu PengantarPradya ParamitaJakarta: 1994.
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung: 2003.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undanganHukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung: 2003.
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung: 1992.
Imam Sudiyati, Hukum Adat, 1991.
M. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat DewasaIniAirlangga Univ. Press, Surabaya: 1979.
Soepomo, Hukum Adat di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta: 1986.

Jurnal/Majalah

Surya Prahara, Paradoks Hukum dalam Adat Perkawinan Minangkabau (Studi Sosiologi Hukum dalam Perkawinan), Menara Ilmu Vol. IX Jilid 1, No.56 Maret 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar